Benarkah kita dapat membaca kepribadian seseorang dari caranya berkomunikasi? Dari cara seseorang berbicara, menulis, SMS, komentar di facebook, tweeter, blog, internet ataupun media komunikasi lainnya. Hmm… rasanya agak sulit tapi kalau udah berpengalaman biasanya bisa sedikit-sedikit melihatnya. Atau dengan kata lain, kepribadian kita terlihat saat kita berkomunikasi. Benarkah?
Contohnya seperti ini: jika orang banyak mengambil sisi positif, maka dapat disimpulkan bahwa dia seorang yang optimis. Kalau cara bicaranya sistematis maka disimpulkan bahwa dia orang yang terencana, rapi, fokus, dan tidak terlalu menyukai perubahan yang mendadak. Kalau orang banyak membicarakan dirinya sendiri dan tidak terlalu memperhatikan atau membicarakan kondisi lawan bicaranya, maka biasanya cenderung introvert. Kalau orang membicarakan sesuatu blak-blakan tanpa rasa malu bahkan pembicaraan yang memalukan di depan umum, maka kemungkinannya adalah ekstrovert. Kalau orang dari bahasa SMS suka disingkat-singkat, biasanya orangnya hemat alias pelit he he he …
Pengambilan kesimpulan seperti itu sebetulnya masih dipertanyakan kebenarannya. Soalnya baru asumsi atau prasangka. Sebab kepribadian itu kan hasil kebiasaan serta kecenderungan yang berulang-ulang. Susah juga kalau memvonis kepribadan seseorang langsung dari cara ngomongnya. Sebab cara bicara itu sering dipengaruhi oleh kondisi emosi seseorang.
Sebetulnya kita berkomunikasi bukan hanya menyampaikan pesan namun juga membagi emosi (perasaan). Emosi di sini bukan hanya sekedar amarah, namun juga rasa takut, cinta, benci, kesal, gembira dan semacamnya. Dengan membaca emosi seseorang, kita menebak-nebak kepribadiannya sekaligus membaca “pesan asli yang tidak keluar”. Makanya banyak yang bilang, meskipun engkau berdusta, menyangkal atau diam seribu bahasa, tapi jika engkau berhadapan dengan psikolog atau ahli psikologi, akhirnya kamu ‘ditelanjangi’ juga. He he he …
Dengan kemampuan mengenali emosi lawan bicara sekaligus mengenali emosi diri sendiri, kita akan menjadi lebih bijaksana dengan menempatkan diri secara adil. Inilah kecerdasan emosi yang bermanfaat untuk memahami orang lain. Saling memahami untuk menciptakan hubungan sosial dan kehidupan yang lebih baik adalah salah satu hakikat dari tujuan kita mempelajari kepribadian.
Orang yang cerdas emosinya tentu tidak melayani orang yang berdebat kusir. Soalnya, tidak bermanfaat untuknya maupun lawan debatnya. Orang yang sukanya debat kusir itu prinsipnya menang – menangnya sendiri, meskipun tidak logis dan tidak relevan Dia hanya mengumbar emosinya saja. Dia tidak mencari kebenaran tetapi mencari pembenaran. Soalnya dia bertipe “Yang Penting Ngomong”. Meskipun dia tidak tahu duduk permasalahannya, yang penting ngomong biar kelihatan pintar, keren dan termasuk orang-orang penting Aktif ngomong biar nggak ketinggalan kereta. Banyak ngomong biar nanti akan terlatih kualitas omongannya. Prinsipnya, kuantitas melahirkan kualitas. Hmm, benarkah?
Di lain pihak ada orang yang bertipe “Ngomong Yang Penting” atau baru ngomong kalau ada kepentingan. Inilah orang yang cerdas emosinya. Kalau tak ada yang penting untuk diomongin ya diam saja. Soalnya kalau banyak ngomong, banyak kesalahan, malu dong, banyak dosa. He he he… mana yang lebih baik tentu kembali pada pilihan masing-masing.
Contohnya seperti ini: jika orang banyak mengambil sisi positif, maka dapat disimpulkan bahwa dia seorang yang optimis. Kalau cara bicaranya sistematis maka disimpulkan bahwa dia orang yang terencana, rapi, fokus, dan tidak terlalu menyukai perubahan yang mendadak. Kalau orang banyak membicarakan dirinya sendiri dan tidak terlalu memperhatikan atau membicarakan kondisi lawan bicaranya, maka biasanya cenderung introvert. Kalau orang membicarakan sesuatu blak-blakan tanpa rasa malu bahkan pembicaraan yang memalukan di depan umum, maka kemungkinannya adalah ekstrovert. Kalau orang dari bahasa SMS suka disingkat-singkat, biasanya orangnya hemat alias pelit he he he …
Pengambilan kesimpulan seperti itu sebetulnya masih dipertanyakan kebenarannya. Soalnya baru asumsi atau prasangka. Sebab kepribadian itu kan hasil kebiasaan serta kecenderungan yang berulang-ulang. Susah juga kalau memvonis kepribadan seseorang langsung dari cara ngomongnya. Sebab cara bicara itu sering dipengaruhi oleh kondisi emosi seseorang.
Sebetulnya kita berkomunikasi bukan hanya menyampaikan pesan namun juga membagi emosi (perasaan). Emosi di sini bukan hanya sekedar amarah, namun juga rasa takut, cinta, benci, kesal, gembira dan semacamnya. Dengan membaca emosi seseorang, kita menebak-nebak kepribadiannya sekaligus membaca “pesan asli yang tidak keluar”. Makanya banyak yang bilang, meskipun engkau berdusta, menyangkal atau diam seribu bahasa, tapi jika engkau berhadapan dengan psikolog atau ahli psikologi, akhirnya kamu ‘ditelanjangi’ juga. He he he …
Dengan kemampuan mengenali emosi lawan bicara sekaligus mengenali emosi diri sendiri, kita akan menjadi lebih bijaksana dengan menempatkan diri secara adil. Inilah kecerdasan emosi yang bermanfaat untuk memahami orang lain. Saling memahami untuk menciptakan hubungan sosial dan kehidupan yang lebih baik adalah salah satu hakikat dari tujuan kita mempelajari kepribadian.
Orang yang cerdas emosinya tentu tidak melayani orang yang berdebat kusir. Soalnya, tidak bermanfaat untuknya maupun lawan debatnya. Orang yang sukanya debat kusir itu prinsipnya menang – menangnya sendiri, meskipun tidak logis dan tidak relevan Dia hanya mengumbar emosinya saja. Dia tidak mencari kebenaran tetapi mencari pembenaran. Soalnya dia bertipe “Yang Penting Ngomong”. Meskipun dia tidak tahu duduk permasalahannya, yang penting ngomong biar kelihatan pintar, keren dan termasuk orang-orang penting Aktif ngomong biar nggak ketinggalan kereta. Banyak ngomong biar nanti akan terlatih kualitas omongannya. Prinsipnya, kuantitas melahirkan kualitas. Hmm, benarkah?
Di lain pihak ada orang yang bertipe “Ngomong Yang Penting” atau baru ngomong kalau ada kepentingan. Inilah orang yang cerdas emosinya. Kalau tak ada yang penting untuk diomongin ya diam saja. Soalnya kalau banyak ngomong, banyak kesalahan, malu dong, banyak dosa. He he he… mana yang lebih baik tentu kembali pada pilihan masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar