Hari
yang melelahkan dengan teriknya matahari dan sapuan udara bercampur
debu. Daun-daun berguguran lalu terbang tersapu angin. Terlihat sesosok
gadis kecil duduk termenung di kursi taman pusat kota. Terdengar
teriakan seseorang dari arah belakang gadis itu.
“Dilla…!” Teriakan itu membuat gadis kecil yang ternyata bernama Dilla itu terkejut dan langsung membalikkan tubuhnya.
“Dilla..!!”
teriak orang itu lagi. Setelah dia melihat orang yang memanggilnya itu,
mukanya tiba-tiba memerah dan sepertinya ada rasa geram darinya.
“Dilla,
kamu ke mana saja, Nak? Ayah mencarimu dari tadi pagi. Kenapa tiba-tiba
kamu kabur?” Tanya orang itu yang ternyata adalah ayah Dilla sendiri.
Dilla tetap diam. Wajahnya tetap murung dengan sedikit tatapan sinis.
Ayahnya mencoba bicara lagi.
“Ayolah,
Nak. Beritahu Ayah. Kamu mau apa?” Sang ayah terus membujuknya untuk
bicara. Perlahan wajah Dilla mulai kelihatan tenang. Dan ia pun mulai
bicara.
“Ayah nggak akan pernah
tau apa yang kuinginkan, karena Ayah nggak pernah perhatiin aku. Ayah
nggak akan pernah mengerti dan sampai kapanpun Ayah tak
akan bisa mewujudkannya!” ucap
Dilla. Ia mengatakan semua yang ada di benaknya. Perasaan yang dulu ia
pendam. Dan sekarang perasaan itu sudah memuncak dan tak dapat
dikendalikan lagi.
Ayah merengut dan tiba-tiba memarahi Dilla.
“Apa
sih yang kamu mau? Ayah sudah memberikan semua yang kamu minta.
Pakaian, handphone, laptop, accessories dan barang-barang lainnya yang
Ayah rasa kamu tidak gunakan. Sekarang kamu mau apa? Ayah capek… capek…
ngeladenin kamu!”
Mendengar
ucapan ayahnya, sakit hati Dilla semakin menjadi-jadi. Perlahan air
matanya keluar. Tetes demi tetes menggambarkan kehidupannya yang kelam.
“Kalau
Ayah memang tak mau ngurusin aku, mendingan Ayah buang saja aku. Biar
Ayah nggak capek lagi dan bisa senang-senang dengan kehidupan Ayah yang
nggak jelas itu!” Semuanya ia ungkapkan saat itu juga dan akhirnya ia
lari pergi meninggalkan Ayahnya.
“Dilla…!!” teriak ayahnya yang lari mengejarnya.
Larian
panjangnya tiba-tiba berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tak
layak huni. Langkah kakinya bagaikan tersedot rumah itu. Ia mencoba
mengetuk pintu rumah itu.Namun tak ada orang yang membukakannya. Ia
terus mengetuk pintu itu berkali-kali. Namun tetap tak ada jawaban.
Akhirnya
ia mencoba membuka pintu itu. Pintunya tidak dikunci. Ketika ia melihat
ke dalam rumah itu, betapa terkejutnya ia. Ia melihat seorang wanita
tergeletak tak sadarkan diri dari balik dinding rumah itu.
“Bunda…Bunda…!!” teriaknya dengan air mata yang terus menetes.
“Bunda..!Bangun
Bunda..! Bangun…” Dilla mencoba menyadarkan wanita yang ternyata
ibunya. Ibunya Dilla tetap tidak sadarkan diri. Dilla pun mulai putus
asa. Ingin rasanya ia membawa ibunya ke rumah sakit. Namun, ia tidak
bisa membawa ibunya sendirian. Dan walaupun ia lakukan itu, yang pasti
ibunya akan marah dengannya. Akhirnya, ia merawat ibunya di rumah itu,
hingga ibunya sembuh.
^_^
Sudah
dua hari Dilla menginap di rumah itu. Namun ayahnya tak kunjung
menjemputnya. Ada dua alasan yang mungkin terjadi dengan ayahnya hingga
ayahnya tidak bisa menjemputnya. Yaitu, satu; karena ayahnya tidak tau
rumah ini. Dua; karena ayahnya sibuk dengan pekerjaannya.
Di rumah kecil itu, Dilla lebih
merasa ceria. Karena ia merasa tidak kesepian. Di rumah itu, ia
mempunyai teman ngobrol, mencurahkan isi hatinya, berbagi suka dan duka,
tertawa bersama dan hal-hal menarik lainnya. Ketimbang di rumah besar
yang sunyi, sepi, senyap, hanya bertemankan harta yang tidak berguna.
Ibu Dilla sudah sembuh. Dilla
pun berpamitan dengan ibunya. Ia takut ayahnya akan marah besar kalau ia
tak kunjung pulang. Ia merasa tersiksa dengan perceraian kedua orang
tuanya yang berakibat buruk terhadap masa depannya.
Sesampainya di rumah, Dilla
langsung masuk ke kamarnya, menguncinya, dan seperti biasa, ia
mencurahkan isi hatinya dalam buku harian.
Malam harinya, ayah Dilla pun pulang. Ia langsung menuju kamar Dilla untuk memastikan anaknya itu sudah pulang atau tidak.
Ketika pintu kamar Dilla dibuka, Dilla pun spontan terkejut, ia langsung menyembunyikan buku hariannya.
“Dilla..
Kamu sudah pulang, Nak. Kamu ke mana aja kemarin? Kenapa nggak bilang
sama Ayah?” sang Ayah mencoba menginterrogasi Dilla.
“Nginep rumah teman, Yah.” Jawab Dilla singkat.
“Kenapa kamu nginep rumah teman? Emangnya kamu nggak punya rumah?” Tanya ayah dengan nada pelan.
“Ayah!
Aku kesepian di rumah ini. Aku tidak merasa bahagia dengan semua harta
yang Ayah berikan. Aku cuma minta perhatian dan kasih sayang kedua orang
tuaku. Dan kalian selaluu ada di sampingku. Tapi Ayah tidak pernah
mengerti apa maksudku!” bentak Dilla. Emosinya memuncak drastis.
“Terus apa maumu?! Bagaimana Ayah bisa tahu, kalau kamu nggak ngasih tahu Ayah!!” bentak ayah dengan nada tinggi.
Ucapan
ayahnya membuat Dilla merasakan sakit yang luar biasa. Sekarang bukan
hatinya saja yang sakit, seluruh tubuhnya juga ikut sakit. Dilla
merintih kesakitan dan akhirnya pingsan.
Melihat sang anak pingsan, sang ayah langsung membawa Dilla ke rumah sakit. Dan langsung ditangani oleh dokter terhandal.
Sesaat kemudian, dokter keluar dengan wajahnya yang kelihatan pucat. Ayah Dilla pun menghampirinya.
“Penyakitnya kambuh lagi.” Ucap dokter itu.
“Penyakit??” Tanya Ayah Dilla heran.
“Penyakit leukimianya sudah stadium empat!” Lanjut dokter.
Seketika itu pun ayah Dilla terkejut.
Penyakit leukemia? Stadium empat? Batinnya.
“Maaf,
Dok. Setahu saya, anak saya tidak pernah mengidap penyakit leukemia.
Apalagi sampai stadium empat. Saya tidak mengerti maksud Anda!” Ucap
Ayah Dilla.
“Bapak jangan
bercanda. Dilla itu pasien lama saya. Sudah 2 tahun ia saya tangani. Kok
Bapak sampai tidak tau masalah ini?” Jelas dokter dengan wajah bingung.
Ayah Dilla semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan dokter tersebut.
Sudah 2 tahun? Tapi mengapa Dilla tidak pernah mengatakannya? Batinnya lagi.
“Dok,
boleh saya masuk ke dalam? Saya mau jenguk anak saya!” Pinta ayah Dilla
sambil mengarahkan telunjuknya ke kamar tempat anak semata wayangnya
itu dirawat.
Di dalam kamar itu, ia melihat
seorang gadis kecil mempertaruhkan nyawanya melawan sakit yang
menderanya. Dimanakah sosok seorang ayah yang dia punya? Mengapa ia tak
tau apa yang terjadi dengan anaknya? Apakah batin seorang ayah dengan
anaknya tidak terikat? Ditengah lamunannya, ia dibuyarkan oleh secercah
suara kecil. Ya, suara Dilla.
“Ayah..” ucapnya lemah.
“Iya, Nak.” Ujar ayahnya sambil meneteskan air mata.
“Ayah..
Aku mau minta sesuatu dari ayah. Aku mau…” Ucapan Dilla semakin lemah.
Denyut nadinya semakin cepat. Nafasnya terengah-engah. Dan pada saat
itu, detik itu, Dilla menghembuskan nafas terakhirnya sebelum mengatakan
keinginannya itu.
Tangisan
langsung meluap dari kedua mata sang ayah. Sampai akhir hayat anaknya,
ia tidak dapat mengabulkan permintaan anaknya itu.
Dan sekarang ia tidak tau harus bagaimana. Ia tidak tau apa yang anaknya inginkan. Dan ia tidak tau bagaimana mewujudkannya.
^_^
Dua
hari setelah kepergian Dilla, sang ayah terus saja berdiam diri di
rumah. Ia sekarang sadar, harta yang paling berharga baginya bukanlah
uang tetapi keluarga. Ia pun mencoba mengenang Dilla dengan masuk ke
dalam kamar Dilla. Ia membereskan kamar anaknya itu. Ketika ia sedang
membereskan tempat tidur, tak sengaja ia menemukan sebuah diary di bawah
bantal. Ia pun kemudian membuka diary itu, dan membacanya.
Deardiary…
Aku tak tau apa yang sedang ku alami
Semuanya berubah begitu saja.Perceraian Ayah dan Bunda telah membuatku
larut dalam kegelapan
Aku tak bisa melihat masa depanku nanti.
Sekarang aku mencoba menahan penyakit leukemiaku. Aku tidak ingin mereka
mengetahuinya. Aku tidak ingin kedua orang tuaku saling menyalahkan.
Cukup aku yang merasakan sakit ini.
Deardiary…
Ya Allah…
Kenapa Kau berikan cobaan ini kepadaku?
Kenapa Kau memberikan sakit ke Bundaku?
Kenapa Kau buat Ayah melupakanku?
Kenapa aku tidak pernah bisa menjadi orang yang lebih sabar lagi menahan
cobaan ini.
Ya Allah..
Yang hambaMu inginkan cuma satu. Tolong persatukan keluarga kami lagi.
Tolong satukan Ayah dan Bunda agar Ayah bisa merawat Bunda.
Karena mungkin hamba tidak bisa merawat Bunda lagi.
Karena mungkin Kau akan memanggil hamba.
Jadi hamba mohon, persatukan keluarga hamba.
Ayah… yang Dilla minta selama ini adalah itu.
Dilla minta Ayah menjemput ibu di rumah kecil di bawah jembatan tua.
Dan Dilla ingin Ayah menjaga dan merawat Bunda untuk selamanya. Hingga
akhir hayat.
Amiiinn… Ya Rabbal A’lamin.
Tetesan air mata berjatuhan.
Isak tangis meluap. Sekarang.. saat itu juga ayah Dilla pergi menjemput
mantan istrinya itu sesuai kehendak Dilla.
Di rumah kecil itu, ia melihat
mantan istrinya duduk termenung. Ia pun mendekatinya dan perlahan
mengatakan tentang kepergian Dilla.
Mendengar berita itu, sang ibu
langsung menangis. Ia tak dapat menerima semua itu. Namun, ia pun tidak
bisa mengelak takdir illahi. Sesuai keinginan Dilla, kedua orangtuanya
pun bersatu kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar